Negara Darurat Moral
Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ اَلَّذِيْ أَكْمَلَ لَنَا الدِّيْنَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النِعْمَةَ وَجَعَلْنَا مُسْلِمِيْنَ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً،
أَمَّا بَعْدُ
أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواْ اللهَ تَعَالَى
Ibadallah,
Puncak keberhasilan seorang muslim dalam beragama tercemin dalam budi pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang mulia. Prestasi sebuah negara juga akan meningkat bersama meningkatnya moralitas bangsanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berprestasi sempurna memberi keteladanan kepada umatnya dengan akhlaknya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan budi pekertinya yang agung dalam beragama. Allah Azza wa Jalla memberikan pujian kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam/68:4).
Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan dan berbagai prilaku buruk lainnya melanda masyarakat di dunia ini. Tegur sapa, sopan santun, simpati dan empati sulit ditemukan. Yang ada, memanfaatkan kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:
إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya
Apabila akhlak mereka pudar maka punahlah eksistensinya.
Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan modal utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan. Lebih dari itu akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik yang melahirkan suasana batin yang harmonis, hubungan yang humanis, interaksi yang toleran dan fleksibel. Bahkan Akhlak memiliki peran penting dalam mewujudkan revolusi mental yang damai dan konstruktif serta sebagai mercusuar bangsa untuk mendapat pengakuan dan pujian tulus dari komunitas internasional sehingga hikmah utama diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ (مَكَارِمَ) الْأَخْلَاقِ
“Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan (kemuliaan) akhlak.” (HR. al-Baihaqi).
Perhatikanlah wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
يَا أَبَا ذَرٍّ لَا عَقْلَ كَالتَدْبِيْرِ وَلَا وَرَعَ كَالكَفِّ وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الخُلُقِ
“Wahai Abu Dzar tiada kecerdikan dibanding pengaturan, tiada sikap wara` dibanding menjaga diri, dan tiada kedudukan paling tinggi dibanding akhlak mulia.” (HR. Ahmad).
Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga tetap dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam Ibnu Khaldun rahimahullah menuturkan tentang faidah belajar sejarah bahwa sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang bergengsi dan faidahnya sangat banyak. Dengan mengenang sejarah kita mampu mengenali akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para Nabi, dan bentuk pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan tujuan agar kita bisa mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah dari mereka untuk kepentingan dunia dan agama.
Ibadallah,
Krisis moral menerpa Negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak pacaran dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua sedih anaknya tidak mempunyai pacar. Padahal pacaran sering menimbulkan kejahatan seperti mencuri, memperkosa, membunuh, aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan tidak dianggap dosa besar, bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba tidak lagi dianggap barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega membunuh orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan sampah yang tidak berharga dan bernilai di mata bangsa lain, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللّٰهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّاللّٰهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قالوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-kan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-perti buih banjir, dan Allah akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian, lalu Allah akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah apakah wahn itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia dan benci mati.“ (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong, menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik elektronik maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini kecuali sudah penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial, berpolitik dan berbisnispun tidak lepas dari manipulasi, berbohong, menipu dan curang sehingga mereka rame-rame membalas kebaikan Allah dengan kufur nikmat bahkan kufur syariat. Padahal Allah Azza wa Jalla sudah mengingatkan dalam firman-Nya:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan)sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tem-pat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakai-an kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (An-Nahl/16:112)
Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu bejat, untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang yang lemah iman. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
“Dan Allah hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenarannya).” (An-Nisa’/4:27).
Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya untuk bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum laki-laki. Diantara mereka ada yang menjadi perawat untuk mendampingi dokter laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar di sekolah yang ikhtilath, pemain sinetron atau film, penyanyi, penari, penyiar radio atau presenter siaran televisi dengan penampilan yang mengundang fitnah. Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah bagi kaum laki-laki sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu laki-laki. Mereka dipajang di sampul-sampul majalah dengan tampilan sensual yang memikat. Mereka di iming-iming imbalan uang yang melimpah, fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang menggiurkan, sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung tergoda dan dengan sekejap terbawa arus fitnah yang menyesatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu) dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia melihat apa yang kalian per-buat, berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita.” (HR. Muslim dan al-Baihaqi).
Akhirnya banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan memilih menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat ke kantor dengan gaya seksi dan memfitnah. Mereka sangat tersanjung saat ada orang yang memujinya sebagai eksekutif muda, wanita modis, artis berbakat, foto model beken, miss world, ratu catwalk, atau selebriti. Pada akhirnya, suami istri terpaksa menyerahkan urusan rumah dan pendidikan anaknya kepada para pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah dan kejahatan di dalam rumah tangga.
Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj, pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap syariat Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman Allah:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab/33:33)
Setiap hamba Allah terutama Muslimah seharusnya memiliki semangat untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan kesucian serta tidak ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan murka Allah dan Rasul-Nya.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Berbagai kerusakan moral di atas bila dibiarkan akan menghancurkan stabilitas negara dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Semua terjadi karena pondasi keimanan lemah dan akhlak yang sangat buruk, serta laju sosial media yang tidak terbendung. Bila suatu negeri kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan bertakwa dan berakhlak mulia, Allah Azza wa Jalla akan menurunkan keberkahan baik dari langit dan bumi sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf/7:96)
Orang yang bertakwa pasti berakhlak mulia karena takwa merupakan puncak karier seorang hamba dalam beragama. Bahkan kedekatan seorang hamba dengan Allah Azza wa Jalla sangat ditentukan oleh keimanan dan ketakwaannya sehingga dia menjadi wali Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan me-reka selalu bertakwa.” (Yunus/10: 62-63).
Keimanan yang lemah akan mengakibatkan kerusakan moral dan akhlak, menjadikan kehidupan tidak beraturan, memperturutkan hawa nafsu, dan mengekor pada kemauan syubhat dan syahwat sehingga terjadi dekadensi moral. Hukum Allah tidak lagi dijadikan pedoman hidup. Akibatnya, pola hidupnya liar dan bebas tanpa mengenal batas, interaksi sosial dan politik tidak mengenal etika dan berperilaku tidak mengenal rasa malu bahkan lebih parah dari binatang sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf/7:179)
Pergaulan laki dan perempuan bebas sebebasnya, makan harta haram sudah biasa, yang kuat menindas yang lemah, uang bertahta, pangkat dan jabatan berkuasa dan tatanan kehidupan benar-benar memilukan. Kejahatan merajalela, kenakalan remaja meruyak, pembunuhan mudah terjadi, pemerkosaan dianggap sepele, pencurian gampang dilakukan, penganiayaan pemandangan lumrah, korupsi menjadi konsekuensi jabatan, narkoba dianggap bagian kehidupan tak mungkin terpisahkan dan kejahatan lainnya sering kita saksikan dimana-mana bahkan dirumah sendiri.
Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?!
Pemerintah, dan rakyat bahkan semua pihak harus bertanggung jawab. Dengan mengembalikan tatanan kehidupan sesuai dengan aturan syariat. Bila syariat tegak dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka suasana kehidupan akan tertata rapi, kejahatan akan bisa diredam, hak-hak kehidupan berjalan normal dan stabilitas negara akan kokoh sebagaimana janji Allah Azza wa Jalla :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur/24:55).
Janji kemapanan dan kemakmuran merata di muka bumi, rasa takut akan hilang diganti dengan rasa aman sebagai bentuk isyarat agar bersiap-siap untuk mewujudkan sebab-sebabnya yang disertai dengan jaminan taufiq dan sukses asalkan mereka mampu mengambil darinya dan pokoknya adalah mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Kaum muslimin,
Bagaimana menanggulangi bencana moral? Tidak ada cara lain kecuali umat Islam secara keseluruhan, mulai dari pimpinan hingga rakyatnya harus kembali kepada Alquran dan as-Sunnah menurut pemahaman Salaful Umah. Beraqidah, beribadah, berakhlak dan bermuamalah secara benar dan ikhlas hanya karena Allah Azza wa Jalla. Kehidupan yang adil, damai, aman dan tertata rapi bisa diraih dengan akhlak yang mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
حُسْنُ الْخُلُقِ نَمَاءٌ وَسُوءُ الْخُلُقِ شُؤْمٌ وَالْبِرُّ زِيَادَةٌ فِى الْعُمُرِ وَالصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مِيتَةَ السَّوْءِ
“Akhlak mulia adalah kebahagiaan, akhlak yang tercela adalah kesengsaraan, amal kebaikan adalah penambah umur, dan sedekah menghalangi seseorang dari mati da-lam keadaan jelek.” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak, dengan berbagai macam ibadah yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla . Hasil utamanya adalah untuk perbaikan perilaku dan pembentukkan akhlak dalam makna luas. Allah Azza wa Jalla berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ankabut/29:45)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak mulia. Jika kita telusuri lebih mendalam, proses shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti bersih badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu. Dengan ini, shalat diharapkan membentuk sikap selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat waktu.
Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur juga dapat menentukan kesempurnaan iman seseorang sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa akhlak mulia pertanda kesempurnaan iman seseorang. Selama ini mungkin sebagian orang menganggap perbuatan jahatnya kepada orang lain atau tetangga sebagai hal biasa yang tidak berpengaruh pada eksistensi keimanan. Padahal, faktanya akhlak buruk sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan. Bahkan manusia paling jelek di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah manusia yang berakhlak jelek. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
“Sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari kejelekannya.” (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban).
Sebaliknya orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, sebagaimana sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًاوَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ
Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlak-nya di antara kalian, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku kelak pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun (orang yang suka mengkritik), dan al-muta-syaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafai-qihun.”Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah! Kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan orang yang banyak ngomong dengan sembrono, namun apa yang dimaksud dengan al-mutafaihiquun?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang sombong.” (HR. at-Turmudzi).
Cerminan pribadi seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan. Akhlak adalah perhiasan bagi seseorang. Oleh karena itu, orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak, tentu orang berakhlak yang lebih disenangi orang. Karena secara naluri, orang suka sesuatu yang berhias.
Orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan jaminan surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabdanya:
أَنَا زَعِيْمُ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ المِرَاءِ وَإِنْ كَانَ مُحِقَّاوَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍفِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“Aku menjamin sebuah rumah di taman surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia benar, dan aku menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang mening-galkan dusta meskipun hanya senda gurau. Dan aku men-jamin rumah di bagian tertinggi surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. at-Turmudzi dan selainnya).
Dengan demikian, untuk menanggulangi bencana moral yang menimpa bangsa secara kolektif adalah dengan menegakkan pilar-pilar akhlak Islam yang mulia secara komperhensif. Camkanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَيِّئّةِ الحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah anda kepada Allah dimana saja anda berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan selainnya).
Dari hadits di atas, seorang Muslim dituntut untuk mewujudkan tiga pilar akhlak yang menjadi syarat sempurnanya keislaman seseorang yang antara lain:
Pertama: Akhlak kepada Allah Azza Wa Jalla
Akhlak seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla dengan mewujudkan ketakwaan. Sikap takwa pasti akan melahirkan perilaku positif di tengah masyarakat. Oleh karena itu ciri orang yang bertakwa adalah senantiasa menjunjung tinggi akhlak mulia yang tertuang dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran/3: 133-134)
Kedua: Akhlak seseorang terhadap diri sendiri.
Seseorang juga dituntut berakhlak mulia kepada diri sendiri dengan terus menerus melakukan perbaikan, instropeksi diri dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran/3: 135)
Ketiga: Akhlak terhadap sesama
Akhlak seorang hamba terhadap sesama manusia dengan menjunjung tinggi etika pergaulan dan akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Sehingga dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang sopan, santun dan ramah serta bertata krama.
Diantara akhlak seorang hamba kepada sesama manusia yang sangat dianjurkan:
Pertama: Akhlak terhadap Kedua orang tua
Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya dan yang paling bertanggung jawab terhadap anaknya. Jasa mereka tidak dapat dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali seorang anak mampu memerdekakan keduanya yang menjadi budak sebagai manusia yang mempunyai hak kemanusiaan penuh. Karena menjadi budak atau hamba sahaya sesuatu keadaan yang tidak diinginkan.
Seorang bapak bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anaknya, sedangkan seorang ibu melahirkan dengan bertaruh nyawanya kemudian menyusui anaknya dengan penuh pengorbanan. Apakah perbuatan demikian perbuatan yang mudah? Tidak, perbuatan demikian adalah hal yang sangat sulit. Sebagai seorang anak sudah semestinya untuk berbakti dan menghormati keduanya.
Diantara bentuk akhlak mulia seorang anak kepada orang tua adalah:
Berbuat baik kepada ibu dan bapak, walaupun keduanya zhalim, kafir atau musyrik.
Memuliakan dan berkata lemah lembut kepada keduanya.
Berbuat baik kepada ibu dan bapaknya yang sudah meninggal dunia dengan (mendoakannya) serta menyambung silaturahim dengan para sahabat orang tuanya.
Kedua: Akhlak terhadap tetangga
Dalam Islam tetangga memiliki hak kedamaian dan perlindungan yang sangat besar, sehingga mereka merupakan pihak yang paling berhak mendapat kebaikan dan perhatian kita melalui beberapa hal berikut ini:
Berbuat baik kepada tetangga kita.
Saling menolong dengan mereka
Tidak menjelek-jelekkan tetangga.
Menjaga hubungan baik dengan mereka.
Karena pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga, sampai-sampai Rasulullah n sempat menduga akan ada waris-mewarisi antar tetangga. Dugaan ini muncul, karena malaikat Jibril sering datang memberi nasehat agar selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga.
Ketiga: Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan
Islam mengatur etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan aturan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya, seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahramnya tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan), berikhtilath, saling berjabat tangan atau berbicara mesra atau bepergian bersama. Jika ini dilaksanakan perzinaan, perselingkuhan dan pemerkosaan mampu diminimalisir.
Keempat: Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar
Manusia hidup tidak mungkin terlepas dari lingkungan. Lingkungan perlu dijaga dan diperhatikan. Pengertian lingkungan hidup adalah keadaan sekeliling kehidupan manusia di muka bumi, seperti udara untuk bernafas, sungai untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan lain sebagainya. Hutan untuk perlindungan alam dan kayu-kayunya bermanfaat untuk keperluan hidup manusia. Oleh sebab itu, orang yang beriman dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan dengan memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan wajar, diantaranya:
Melestarikan lingkungan.
Menjaga lingkungan dari pencemaran.
Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِمَا فِيْهِ مِنَ البَيَانِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ المُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ وَ أَشْكُرُهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْماً لِشَأْنِهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ وَتَمَسَّكَ بِسُنَّتِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً.
أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ،
Ibadallah,
Mendidik generasi bangsa di tengah kerusakan akhlak, kebobrokan moral dan maksiat yang merajalela, syahwat diperturutkan tanpa kendali, kebaikan diabaikan, ajaran agama dicampakkan, kedurhakaan menjamur, pergaulan bebas tanpa batas, shalat dan ibadah disia-siakan dan hamil di luar nikah tidak dianggap aib, membutuhkan kerja keras, keuletan dan kesabaran.
Akan tetapi banyak orang tua atau pendidik yang tidak mau sadar dan tidak bersikap tegas dalam pendidikan, bahkan sebagian orangtua takut kepada anaknya dan tidak berdaya ketika melihat anaknya sedang berbuat dosa di depan mata, berani melawan orang tua, bertindak anarkis atau bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih tua, sehingga muncullah generasi yang disebut Allah dalam firman-Nya,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam/19:59).
Usaha untuk membentengi dan mengarahkan anak agar tidak menjadi anak durhaka dan tak bermoral, dimulai sejak usia dini dengan memberikan stimulus pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, yang dimulai dengan perbaikan akidah dan moral orang tua. Mendidik anak di atas akidah yang benar, ibadah yang sahih, akhlak yang mulia dan menguasai metode pendidikan akan membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil pendidikkan akan mempengaruhi masa depan umat yang siap dipetik buahnya di dunia dan akhirat, Allah Azza wa Jalla berfirman:
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ
(Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya. (Ar-Ra’d/13:23
Hambatan dan rintangan dalam mendidik anak akan selalu datang silih berganti namun sebagai orang tua tidak boleh putus asa dan tidak boleh menyerah. Orang tua harus sabar, ikhlas, selalu mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dan berdoa memohon pertolongan-Nya agar dimudahkan dalam mendidik anak-anaknya dan dijadikan anaknya menjadi anak saleh.
Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya menjadi beban sekolah namun perubahan prilaku anak sangat dipengaruhi oleh tiga lingkungan:
Pertama: Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga menjadi faktor pertama dan utama bagi pertumbuhan prilaku dan kecerdasan anak. Karena anak paling sering menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dari keluarganyalah seorang anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan dan karena pengaruh kedua orang tua, anak menjadi baik atau buruk. Abu Hurairah z berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَّصِرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَنْتُجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ. هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَاقْرَؤُا إِنْ شِئْتُمْ: فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
“Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapaknyalah yang men-jadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu menemuinya cacat.”
Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Dan bacalah firman Allah Azza wa Jalla jika kamu mau, (yang artinya” (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah’.“(Ar-Rum/30:30)(15)
Kedua: Lingkungan Sekolah
Untuk mengembangkan bakat dan karakter anak, tidak cukup hanya dengan belajar di rumah saja, anak membutuhkan sekolah untuk bersosialisasi dengan teman. Banyak sekali manfaat yang diambil dari bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah. Diantaranya, anak bisa belajar menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban mencarikan sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya. Terbaik di sini bukan terbaik karena standar internasionalnya, terbaik karena prestasi akademiknya, tetapi terbaik dalam menanamkan nilai-nilai Islam sesuai dengan manhaj para Salafush shaleh. Karena dengan belajar di sekolah yang berkarakter Islam yang benar maka anak akan mendapatkan guru dan teman-teman yang shaleh yang bisa mengontrol prilaku dan sikapnya
Ketiga: Lingkungan Masyarakat
Selain lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, anakpun akan menghadapi lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat lebih luas cakupannya dibanding lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Lingkungan masyarakat lebih majemuk sehingga membutuhkan kejelian orang tua. Karena selain kebutuhan anak bersosialisasi dengan masyarakat, orang tua juga harus waspada terhadap pengaruh buruknya. Bila lingkungan masyarakat bagus, maka itu akan berpengaruh bagus terhadap pendidikan anak, namun sebaliknya, bila lingkungan masyarakat buruk maka akan berpengaruh buruk juga terhadap pendidikan dan jiwa anak.
Seluruh elemen masyarakat harus bertanggung jawab terhadap proses pendidikan generasi umat dan anak bangsa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الأَمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta per-tanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Tidak mungkin masalah pendidikan yang begitu komplek dan ruwet hanya menjadi beban segelintir aktivis Islam atau sebagian komponen bangsa saja. Tugas berat ini menjadi tanggungjawab seluruh umat Islam secara kolektif, baik para pejabat negara, mulai dari tingkat RT hingga Presiden, tokoh masyarkat dan agama, Ulama, da’i, pakar politik, budaya, ekonomi dan cendikiawan, ormas, yayasan Islam, aktifis dakwah, lembaga pendidikan, LSM dan seluruh kantong kekuatan Islam.
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon pertolongan dan taufiq-Nya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini.
وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ، وَخَيْرَ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعُةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الجَمَاعَةِ .
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةَ المَهْدِيِيْنَ؛ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِيْ الحَسَنَيْنِ عَلِيٍّ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَكِتَابَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا المُسْلِمِيْنَ المُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ فِي أَرْضِ الشَامِ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ حَافِظاً وَمُعِيْنًا وَمُسَدِّداً وَمُؤَيِّدًا،
اَللَّهُمَّ وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ؛ دِقَّهُ وَجِلَّهُ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَّنَهُ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ العَمَلَ الَّذِيْ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ. اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَأَخْرِجْنَا مِنَ الظُلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عباد الله، (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ* وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ) [النحل:90-91]، فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
(Diadaptas dari tulisan Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin di majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015).
Artikel www.KhotbahJumat.com
Artikel asli: https://khotbahjumat.com/4351-negara-darurat-moral.html